7 MACAM TEMAN

*(hanya 1 yg sampai di akhirat)* 1. *Ta'aarufan (تعارفا)*, yaitu teman kenal secara kebetulan, seperti bertemu di kereta, halte bis, cafe dll 2. *Taariikhiiyan (تاريخيا)*,  yaitu teman karena faktor sejarah, seperti teman sekampung, sekost, se'almamater dll. 3. *Ahammiyatan (اهمية )* yaitu teman karena kepentingan (teman bisnis, politik, dll) 4. *Faarihan (فارحا)*,  yaitu teman karena sehobby (hobby motor, nyanyi, futsal dll.) 5. *Amalan (عملا)*,  yaitu teman karena profesi, seperti dokter, guru dll. 6. *'Aduwwan (عدوا)*,  yaitu teman yg terlihat seperti baik, tp sebenarnyab penuh kebencian..  7. *Hubban_lil iimaan (حبا للايمان)*   *yaitu teman yg suka MENGINGATKAN-mu* serta *MENGAJAK-mu* selalu *KE JALAN الله SWT*. Dari ke *7* macam teman ini, no. *1-6* akan sirna di akhirat, & yg tersisa hanya teman no. *7*. *namun teman no.7 ini selalu dipandang sebelah mata, selain dinilai sok alim, juga tidak menghasilkan manfaat duniawi (materi)* *Padahal diakhirat nanti, temen no

ENERGY IBADAH

Di kawasan Jakarta Selatan. Seorang lelaki paruh baya membetulkan topi lusuhnya. Di halaman masjid besar yang ramai dengan jama’ah yang hendak shalat dzuhur. Lelaki itu tak tergoda untuk turut mengambil wudhu. Gerobak bakso yang menjadi sumber mata pencahariannya tetap disandingnya.
Ketika diajak shalat, lelaki asal Jawa Tengah itu menolak halus. "Baju saya kotor, Mas," jawabnya beralasan. Padahal ternyata bukan baru hari itu ia jualan bakso. Sudah lebih dari dua tahun, dan selama itu pula ia tak pernah shalat. Setiap hari bajunya kotor? Padahal dulu di kampungnya, ia sering menjadi muadzin bila maghrib telah tiba.

***

Di sebuah terminal kota kecil di Jawa Timur. Seorang kondektur angkutan umum mengumpat sendiri. Sedari tadi penumpang sepi. Jam telah menunjukkan pukul empat belas lewat lima puluh menit. Waktu ashar akan tiba. Sopir memintanya segera sholat dzuhur. Tapi ia malah balik mengomel "Tuhan kan tahu, kita ini lagi repot," begitu ujarnya konyol. Mobil bergerak keluar. Ada dua orang penumpang melambai. Tapi waktu dzuhur sudah usai.

***

Seorang eksekutif muda sibuk membetulkan kacamatanya yang beberapa kali turun. Pandangannya nampak lelah memelototi laporan neraca keuangan yang dikirim Manajer Keuangan. Senja sudah lama tiba. Beberapa menit saja maghrib akan tiba. Di luar jalanan padat oleh kendaraan. Ia tahu dirinya belum sholat ashar. Tapi pekerjaan mungkin juga keengganannya–membuatnya tak juga beranjak meninggalkan tempat duduk. Ia harus menuntaskan semua itu untuk dibawa rapat direksi. Annual Report itu memang akan dipresentasikan dalam raker akhir tahun, lusa, di perusahaan yang bergerak dalam jasa konstruksi itu. Pukul delapan belas dua puluh menit pekerjaan itu selesai. Ia berkemas. Tapi kesempatan sholat ashar telah sirna sedari tadi.

***

Seorang perempuan muda duduk di sebuah kafe di Plaza Senayan, Jakarta. Nampaknya ia sedang ada masalah. Sebab dari pukul tujuh belas hingga pukul dua puluh malam tidak beranjak. Kerudung mungilnya mulai layu dimakan lampu yang tak terlalu terang. Saat maghrib tiba, tak nampak ia sholat. Mungkin memang sedang tidak sholat. Tapi mungkin juga memang dia lagi tak minat untuk sholat. Pelayan udah mengantarkan tiga gelas jus.

***

Itulah potret. Sepenggal kisah nyata realitas persepsi bermacam orang tentang ibadah. Itu pun baru sebagiannya. Sebagiannya mungkin juga kita, atau sebagian dari kita, meski dalam kadar kekeliruan yang berbeda.

Itu adalah sebentuk cara pandang dan penghargaan yang sangat buruk terhadap ibadah. Salah satunya adalah shalat. Bobot kekeliruan itu tidak bisa dianggap kecil. Itu adalah kesalahan yang sangat serius.

Sebab ibadah adalah penunaian transaksi. Transaksi kemusliman, sekaligus juga kemanusiaan kita.

Transaksi kemanusiaan adalah bentuk nyata dari kesadaran, bahwa kita adalah manusia dan bukan Tuhan, makhluk dan bukan Allah, diciptakan dan bukan menciptakan diri sendiri.

Transaksi kemusliman, adalah penunaian tuntutan atas deklarasi kita sebagai Muslim. Bahwa karena kita Muslim maka kita harus melakukan ibadah, shalat, atau puasa, misalnya.

Ini tidak semata karena alasan fikih, yang menjelaskan batasan sebuah ibadah itu wajib atau sunnah. Ya, memang begitu secara konstitusi dan legalitas hukumnya.
Tapi di dalam penunaian ibadah, ada fakta lain yang sangat besar: bahwa ibadah adalah sumber energi yang tak tergantikan.

Kesalahan terbesar orang-orang yang tidak mampu menghargai bobot dan urgensi ibadah formal, seperti shalat, puasa atau zakat, terletak pada ketidakmampuan mereka memahami prinsip-prinsip transksaksional tersebut. Sebagai mana ia juga telah keliru, ketika memahami bahwa untuk menjadi baik tidak harus shalat, atau puasa, atau melakukan ibadah-ibadah wajib lainnya.

Dalam kehidupan seorang Muslim, kebaikan dan kebajikan memang punya medan yang berhampar-hampar. Dari yang sepele hingga yang berat. Dari tersenyum kepada sesama Mukmin hingga menolong orang yang kesusahan. Tetapi menjadi baik tanpa ibadah formal, tanpa ritual wajib, seperti shalat, atau puasa, yang telah diperintahkan, tidaklah ada artinya.

Dalam banyak ayat dan dalil dalam syariat Islam, kita dapat menemukan berbagai contoh penegasan ibadah formal sebagai penopang penting berbagai sisi kehidupan manusia. Terlebih dalam kondisi-kondisi yang sangat kritis dan strategis. Terkait dengan kekuasaan, Allah menegaskan secara verbal, misalnya, tentang para penguasa yang mengabaikan shalat. Sekali lagi verbal. Artinya penekanannya pada pelaksanaan ibadah formal tersebut.

Juga dalam menyiasati karakter umum manusia yang punya potensi jelek, ada shalat di sana sebagai penawar. Allah bertirman, "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya." (Al-Ma’arij: 19 -23).

Maka, mereka yang merasa telah cukup menjadi baik, hanya dengan menganut nilai-nilai positif dalam teori humanisme semata, seperti bahwa dirinya tidak pernah mengganggu sesama, meski ia tidak pernah shalat, itu belum cukup bagi kehidupan seorang Mukmin.

Salah satu ciri ibadah adalah kesakralannya. Itulah mengapa ada soal kekhusyu’an dalam ibadah. Sebab disanalah sumber energi itu. Pada ruku’ dan sujud itu, pada menahan lapar, pada bacaan ayat-ayat Allah yang dibunyikan dengan lisan, memakai kaidah tajwid, bukan dengan sekadar meyakini bahwa nilai universal Al-Qur’an secara umum telah ia jalankan. Tidak, itu semua tidak menggantikan bila kita sehuruf pun tak pernah membaca Al-Qur’an.

Setiap yang bergerak memerlukan energi. Kadang energi diperlukan untuk melahirkan energi baru lagi. Seperti angin yang berhembus lalu menggerakkan kincir. Atau air yang mengalir memutar turbin, lalu turbin memutar pembangkit listrik. Listrik menjadi energi bagi bermacam sarana hidup. Begitulah.
Logika energi bagi seorang Mukmin secara mendasar ada pada prinsip-prinsip ibadah. Itu adalah rahasia lain, mengapa dalam ayat Al-Qur’an, Allah dengan jelas mengatakan, bahwa manusia tidak diciptakan melainkan untuk beribadah.

Wallahu’alam bishowab.

Anonim


***

Comments

Popular posts from this blog

20 CARA MENGUATKAN IMAN

7 MACAM TEMAN